Selasa, 20 April 2010


Setiap menjelang pemilihan umum, buruh mendadak mendapat perhatian khusus dari para politisi. Ini sangat beralasan karena suara 37 juta buruh terlalu berharga untuk diabaikan. Akankah janji manis 38 partai politik dan ribuan caleg terwujud atau kembali hanya mimpi indah bagi buruh?
Gerakan buruh di Indonesia belum sekuat di Australia atau Inggris. Di kedua negara itu, buruh bisa membentuk partai buruh, yang punya kekuatan untuk berkuasa.
Di Indonesia hanya sekitar 3 juta buruh yang aktif berserikat. Meskipun buruh yang berserikat kurang dari 10 persen dari seluruh total buruh, bagi partai politik, serikat buruh adalah lahan untuk menuai suara.
Serikat buruh menjadi acuan bagi buruh yang tidak aktif berserikat, dalam menentukan pilihan politiknya. Apakah pilihan itu akan membawa angin segar bagi jutaan buruh? Itu belum terjawab hingga saat ini.
Tidak mudah bagi buruh menagih janji politik seusai pemilu. Justru yang terjadi, elite politik terus melakukan politisasi terhadap buruh untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya.
Keterlibatan buruh dalam politik secara langsung diharapkan dapat memutus lingkaran setan politisasi terhadap kaum buruh. Keterlibatan politik itu dimaksudkan untuk mengawal kebijakan yang lebih adil bagi buruh dan dunia usaha.
Walau para buruh bisa bersatu saat menolak revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada 1 Mei 2006, sering kali terjadi justru suara buruh terpecah. Ini karena gerakan serikat buruh masih mengandalkan patron elite.
Karena itu, ketika terjadi konflik, yang umumnya terkait perebutan kekuasaan, organisasi dan gerakan buruh tercabik-cabik. Ini tidak mengherankan, di Indonesia saat ini ada 87 federasi serikat buruh dengan ribuan serikat buruh mulai tingkat perusahaan sampai tingkat kabupaten/kota.
Pertumbuhan serikat buruh hampir 40 persen per tahun. Padahal, peningkatan minat buruh berserikat tidak sebesar itu.
Rapuhnya keutuhan serikat buruh akan memengaruhi gerakan buruh. Solidnya serikat buruh menjadi faktor penting dalam peta politik nasional.
Walau tidak sampai memainkan peran utama, serikat buruh punya kekuatan besar untuk ”memaksa” elite politik membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat, dan tentu saja buruh dan dunia usaha.
Intervensi
Tanpa peranan serikat buruh, partai-partai politik hanya berputar pada isu normatif dalam kampanye. Parpol mengumbar jani menyediakan lapangan kerja bagi 10 juta penganggur terbuka, memperbaiki kesejahteraan buruh, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Namun, tak satu pun yang menyampaikan bagaimana strategi untuk mencapai semua itu.
Tidak pernah ada lontaran tentang strategi mikro menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Ketua Serikat Pekerja Bangunan dan Pekerjaan Umum DPD Sumbar Syafri (Peri) dalam acara pembentukan Tim Sembilan , mengingatkan, sudah saatnya gerakan pekerja bangunan tidak lagi berkutat pada hal-hal mikro. Tantangan saat ini adalah memperjuangkan hak pekerja pada tataran makro.
Strategi ini sudah jamak untuk serikat buruh di Eropa dan sebagian kawasan Asia. Keterpaduan mereka memperjuangkan isu makro membuat upaya meningkatkan kesejahteraan buruh menjadi lebih mudah.
Partai Buruh di Perancis, Inggris, dan Australia, misalnya, telah berhasil menempatkan pemimpin mereka di posisi kunci pemerintahan.
Dengan demikian, saat buruh terlibat proses penyusunan kebijakan, maka keseimbangan antara kepentingan kapital dan sosial dapat dijaga. Begitu pula antara kepentingan dunia usaha dan buruh, yang semuanya untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Memang tidak mudah mewujudkan itu. Tetapi, sudah semestinya gerakan buruh bersatu padu demi kepentingan yang lebih besar. Tidak lagi terfragmentasi dalam puluhan serikat buruh yang akhirnya berkutat pada isu-isu mikro, seperti soal upah dan pesangon, yang dilakukan dalam aksi skala kecil.
Langkah awal
Gerakan buruh Indonesia memang belum sekuat di Inggris, Perancis, atau Australia, untuk membangun sebuah partai politik yang memperjuangkan hak kaum buruh. Namun, bukan berarti gerakan buruh Indonesia tidak bisa menjadi kuat.
Serikat Pekerja/buruh yang terpadu dan mampu memberikan solusi konkret kepada pemerintah bisa menjadi langkah awal untuk mengintervensi kebijakan publik agar berpihak kepada kepentingan buruh, yang notabene rakyat kebanyakan.
Dengan cara ini, serikat buruh dapat memberi masukan kepada elite pemerintahan terpilih, tanpa khawatir salah langkah dalam politik. Hal itu hanya bisa bila gerakan buruh bersatu padu. Konflik-konflik internal serikat Pekerja/buruh akibat perebutan kekuasaan elite, yang tak memberi keuntungan sedikit pun bagi bagi buruh, dihentikan.
Konflik-konflik itu justru membuat Pekerja/buruh semakin terpinggirkan. Konflik telah membuat Pekerja/buruh harus berjuang sendiri di tingkat perusahaan.
Elite serikat Pekerja/buruh pun akhirnya lebih sibuk menyusun strategi untuk mengalahkan pesaingnya dan menyelamatkan panggung mereka. Padahal, serikat buruh didirikan dengan tujuan utama untuk menyejahterakan buruh.
Sekretaris Eksekutif Trade Union Rights Centre (TRUC) Rita Olivia Tambunan mengingatkan, serikat buruh selama ini telah lalai menjalankan perannya, terutama memberi masukan kepada pemerintah saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014.
Menurut Rita, serikat buruh telah kalah dalam langkah ketimbang gerakan petani. Organisasi petani telah memasukkan usulan mereka dalam RPJM.
Padahal, kata Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Widianto, pemerintah membutuhkan masukan berbagai pihak untuk menghasilkan RPJM yang matang.
Walau belum tentu dipakai oleh presiden terpilih, setidaknya RPJM 2009-2014 bakal menjadi panduan bagi elite pemerintah periode mendatang.
Saatnya aktivis buruh memasuki era baru berserikat. Membuat gerakan buruh lebih bermakna, bukan menjadikan buruh seperti sapi yang dicucuk hidung, yang terus dipolitisasi pemegang tali kendali.

Tidak ada komentar: